Nama: Rofiaji Kurniawan
Kelas: 1IA21
NPM: 56415234
Tugas: Ilmu Budaya Dasar
1.
Perobahan peradaban.Ada satu ungkapan yang perlu disimak bahwa
“hampir setiap orang senantiasa mengamati dan mencermati perubahan cepat
peradaban dunia ini, tetapi hanya sedikit diantara mereka yang memperhatikan
perubahan pada dirinya sendiri”. “Every body thing of the world change, but
they never mind of theirs own changes”.
Berbicara
tentang Nasionalisme tentu tidak terlepas dengan hal ikhwal yang berkaitan
dengan jati diri bangsa itu sendiri. Faham tentang kebangsaan secara ideologis
akan mengikat komunitas suatu masyarakat yang membangsa dan menegara dengan
ciri-ciri dan identitas khas bangsa tersebut. Jati diri ke-Indonesiaan itu
harus dipertahankan sebagai nilai-nilai budaya dan peradaban yang bersumber
dari tanah air sendiri yang membuat bangsa Indonesia tidak menjadi bangsa yang
mudah terapung diatas gelombang arus dan buihnya perubahan dunia.
Banyak
pakar menilai bahwa globalisasi itu adalah suatu proses yang misterius, bahkan
teka-teki yang dapat memancing diskusi berkepanjangan. Prof. George Lodge dari
Harvard Business School menilai “tidak satupun pakar didunia ini mampu
memprediksi arah globalisasi, kecuali ia utusan dari langit”.
Bagaimana tidak misterius bila suatu bangsa selalu mendapat kejutan peristiwa yang berdampak luas baik dalam lingkungan lokal, regional maupun internasional.
Bagaimana tidak misterius bila suatu bangsa selalu mendapat kejutan peristiwa yang berdampak luas baik dalam lingkungan lokal, regional maupun internasional.
Mungkin
kita terkejut beberapa waktu lalu para buruh pabrik produk elektronik Sony di
Jakarta mendadak terkena PHK dan kemudian perusahaan itu hengkang (relokasi
industrinya) ke luar Indonesia. Di bagian lain sekian banyak karyawan PT.
Indosat berdemo karena sebagian besar saham Indosat dijual kepada Perusahaan
Singapura. Begitu pula soal pencabutan subsidi BBM, melonjaknya harga minyak
mentah dunia, mahalnya “power supply” listrik, dan lain-lain menjadi lebih
menyedihkan. Peristiwa aktual penyerangan AS dan Inggris ke Irak, rencana
“preemtive strike” Jepang kepada silo-silo rudal di Korea Utara, membuat
peristiwa demi peristiwa silih berganti dan mengejutkan dunia. Semua itu adalah
fenomena sosial maupun politik yang terus berubah, baik di lingkungan dekat
kita maupun yang jauh disana.
Fenomena
sosial yang mencuat yakni tumbuhnya sifat inter-koneksitas, inter-dependensi
antar bangsa dan sifat-sifat saling mempengaruhi kian lama makin menguat. Tidak
bisa dalam suatu peristiwa maupun tragedi hanya dirasakan bangsa sendiri,
paling tidak akan terjadi transparansi dan dengan wahana multi media, maka
tersebarlah peristiwa itu ke seluruh pelosok dunia.
Dikatakan teka-teki karena sukar diprediksi. Berbagai antisipasi yang dilakukan suatu bangsa menghadapi perkembangan politik, ekonomi, budaya dan keamanan cenderung meleset. Isu sentral tentang Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi dan lingkungan hidup yang dulu dipelopori oleh bangsa-bangsa barat/Eropa dengan menempatkan dirinya seolah-olah sebagai negara maju, kampiun HAM dan demokrasi, ternyata di awal abad 21 ini semuanya memudar dan diingkari sendiri. Contoh aktual adalah serangan AS – Inggris dan sekutunya yang memerangi Irak, yang cenderung tidak mengenal batas-batas perikemanusiaan.
Invasi AS dan sekutunya ke Irak, sama sekali tidak berlandaskan hukum internasional (ilegal) tidak mematuhi seruan PBB, tidak mendengar unjuk rasa dan demonstrasi di berbagai belahan bumi ini, yang menentang agresinya ke Irak. Sebagai pertanda bahwa adikuasa telah merasa “hyper power” yang menerapkan hukum rimba dengan leluasa, tidak lagi memperhatikan dan menghormati HAM dan menghancurkan negara berdaulat. Pada sisi lain terjadi “ironi demokratisasi” sementara orang berpikir dan berharap banyak tentang nuansa demokrasi yang serba sehat, bebas dan dijamin hak asasinya, tetapi nyatanya tidak membuat masyarakat menjadi sejahtera dan tenteram hidupnya.
Dikatakan teka-teki karena sukar diprediksi. Berbagai antisipasi yang dilakukan suatu bangsa menghadapi perkembangan politik, ekonomi, budaya dan keamanan cenderung meleset. Isu sentral tentang Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi dan lingkungan hidup yang dulu dipelopori oleh bangsa-bangsa barat/Eropa dengan menempatkan dirinya seolah-olah sebagai negara maju, kampiun HAM dan demokrasi, ternyata di awal abad 21 ini semuanya memudar dan diingkari sendiri. Contoh aktual adalah serangan AS – Inggris dan sekutunya yang memerangi Irak, yang cenderung tidak mengenal batas-batas perikemanusiaan.
Invasi AS dan sekutunya ke Irak, sama sekali tidak berlandaskan hukum internasional (ilegal) tidak mematuhi seruan PBB, tidak mendengar unjuk rasa dan demonstrasi di berbagai belahan bumi ini, yang menentang agresinya ke Irak. Sebagai pertanda bahwa adikuasa telah merasa “hyper power” yang menerapkan hukum rimba dengan leluasa, tidak lagi memperhatikan dan menghormati HAM dan menghancurkan negara berdaulat. Pada sisi lain terjadi “ironi demokratisasi” sementara orang berpikir dan berharap banyak tentang nuansa demokrasi yang serba sehat, bebas dan dijamin hak asasinya, tetapi nyatanya tidak membuat masyarakat menjadi sejahtera dan tenteram hidupnya.
Para
pengamat politik mengartikulasikan demokrasi, ada dua konotasi, pertama bahwa
demokrasi sebagai suatu sistem yang menjamin kebebasan lewat berbagai mekanisme
politik, dan kedua, demokrasi sebagai budaya politik yang berdasarkan pada
kehidupan plural (pluralisme) (Kompas, 01 April 2003). Demokrasi sebagai suatu
sistem kehidupan didalam masyarakat dijamin keleluasaannya untuk
mengekspresikan kepentingan. Pada kalimat terakhir itulah yang kemudian
berkembang bahwa kepentingan kelompok cenderung akan lebih besar daripada
kepentingan nasional. Demi kepentingan kelompok/partai, mereka rela menggunakan
segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan untuk memperbesar cengkeramannya
pada upaya penguasaan bangsa. Pada kenyataannya kepentingan rakyat dan
kepentingan Nasional justru diabaikan pada hal mereka itu adalah konstituen
yang harusnya mendapat perhatian dan kesejahteraan.
2.
Dampak Globalisasi terhadap Kehidupan Bangsa Indonesia.
Dari aspek ideologi, Pancasila yang merupakan “way of life” bangsa Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius, bukan saja orang enggan bicara tentang Pancasila, tetapi justru nilai-nilai yang terkandung didalamnya nyaris tidak lagi dihayati dan diamalkan. Mungkin hal ini adalah akibat dan sikap traumatis dari pengalaman masa lalu, atau dapat pula karena terlahir generasi baru yang telah menganggap bahwa Pancasila sudah tidak bermakna lagi.
Distorsi pemahaman dan implementasi yang terjadi saat ini, dapat kita amati fenomenanya antara lain :
Dari aspek ideologi, Pancasila yang merupakan “way of life” bangsa Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius, bukan saja orang enggan bicara tentang Pancasila, tetapi justru nilai-nilai yang terkandung didalamnya nyaris tidak lagi dihayati dan diamalkan. Mungkin hal ini adalah akibat dan sikap traumatis dari pengalaman masa lalu, atau dapat pula karena terlahir generasi baru yang telah menganggap bahwa Pancasila sudah tidak bermakna lagi.
Distorsi pemahaman dan implementasi yang terjadi saat ini, dapat kita amati fenomenanya antara lain :
•
Terjadinya kemerosotan (dekadensi) moral, watak, mental dan perilaku/ etika
hidup bermasyarakat dan berbangsa terutama pada generasi muda.
• Gaya hidup yang Hedonistik, materialistik konsumtif dan cenderung melahirkan sifat ketamakan atau keserakahan, serta mengarah pada sifat dan sikap individualistik.
• Timbulnya gejala politik yang berorientasi kepada kekuatan, kekuasaan dan kekerasan, sehingga hukum sulit ditegakkan.
• Persepsi yang dangkal, wawasan yang sempit, beda pendapat yang berujung bermusuhan, anti terhadap kritik serta sulit menerima perubahan yang pada akhirnya cenderung anarkhis.
• Birokrasi pemerintahan terlihat semakin arogan berlebihan, cenderung KKN dan sukar menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat. Pemberan-tasan korupsi yang berakar pada birokrasi ini yang terasakan amat sulit karena telah membudaya.
• Gaya hidup yang Hedonistik, materialistik konsumtif dan cenderung melahirkan sifat ketamakan atau keserakahan, serta mengarah pada sifat dan sikap individualistik.
• Timbulnya gejala politik yang berorientasi kepada kekuatan, kekuasaan dan kekerasan, sehingga hukum sulit ditegakkan.
• Persepsi yang dangkal, wawasan yang sempit, beda pendapat yang berujung bermusuhan, anti terhadap kritik serta sulit menerima perubahan yang pada akhirnya cenderung anarkhis.
• Birokrasi pemerintahan terlihat semakin arogan berlebihan, cenderung KKN dan sukar menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat. Pemberan-tasan korupsi yang berakar pada birokrasi ini yang terasakan amat sulit karena telah membudaya.
Perkembangan
sistem politik di Indonesia menunjukkan tatanan yang makin amburadul, walaupun
orang berkilah karena dianggap masih masa transisi, sehingga apapun yang
terjadi di tengah masyarakat ini dianggap pula wajar. Tetapi sebenarnya sistem
politik kita cenderung mengarah kepada ketidak serasian dan perpecahan bangsa.
Pengertian kedaulatan di tangan rakyat makin disalah artikan, sehingga tumbuh
menjamurnya berbagai partai politik yang pernah tercatat hingga lebih dari 100
partai akan menyulitkan untuk melaksanakan Pemilu. Kepemimpinan nasional yang
kurang berwibawa dalam menghadapi masalah-masalah besar, ditambah pula kondisi
birokrasi pemerintahan yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme,
menjadikan keberadaan pemerintah menghadapi cercaan masyarakat. Dinilai tidak
mampu mengendalikan mekanisme kerja jajarannya dan mungkin pada gilirannya
nanti bisa menjadi “lumpuh”. Budaya politik yang melahirkan primordialisme
sempit dan khususnya bagi partai yang berkuasa hanya berorientasi pada
kekuasaan dan pemaksaan kehendak, maka mereka tidak pernah lagi memikirkan
nasib rakyat secara keseluruhan. Selama lima tahun berkuasa dapat diamati bahwa
kemakmuran dan kesejahteraan hanya ada pada partai yang berkuasa itu, sambil
terus mengupayakan agar bagaimana dapat memenangkan Pemilu berikutnya dan
merebut kekuasaan lagi.
Pada aspek ekonomi, boleh disoroti bahwa selama “era reformasi” ini apakah pemerintah telah mampu meletakkan dasar-dasar dan landasan pembangunan ekonomi yang kuat ? Dengan masih dirasakan terjadinya fluktuasi moneter, tidak adanya tambahan investasi, kecilnya minat asing untuk menanamkan modal di Indonesia dan belum bangkitnya sektor riil, akan semakin mempersempit peluang kerja, meluasnya gejala PHK, tidak tertampungnya angkatan kerja baru dan lengkap sudah kemiskinan, pengangguran dan kebodohan menimpa rakyat kita.
Pada aspek ekonomi, boleh disoroti bahwa selama “era reformasi” ini apakah pemerintah telah mampu meletakkan dasar-dasar dan landasan pembangunan ekonomi yang kuat ? Dengan masih dirasakan terjadinya fluktuasi moneter, tidak adanya tambahan investasi, kecilnya minat asing untuk menanamkan modal di Indonesia dan belum bangkitnya sektor riil, akan semakin mempersempit peluang kerja, meluasnya gejala PHK, tidak tertampungnya angkatan kerja baru dan lengkap sudah kemiskinan, pengangguran dan kebodohan menimpa rakyat kita.
Kecenderungan
akselerasi perekonomian global yang bebas menembus batas negara, melalui
banjirnya produk, jasa, dana dan informasi ke berbagai pelosok dunia,
menjadikan Indonesia hanya sebagai sasaran dan arena pemasaran. Sementara
produk dalam negeri mengalami kelesuan sulit menembus pasar di luar negeri.
Produk-produk luar negeri dengan kualitas yang baik dan harga yang relatif
murah, terus masuk dengan dilandasi komitmen “free trade”. Kondisi ekonomi yang
melanda Indonesia saat ini juga disebabkan oleh iklim politik, penegakan hukum,
dan keamanan yang tidak menunjang. Stabilitas nasional selalu terganggu,
keamanan usaha tidak terlindungi, akibatnya produktivitas anjlok.
Pada
bagian lain, terutama aspek sosial budaya dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, terutama pada bidang komunikasi, transportasi dan informasi
telah merubah paradigma sosial begitu cepat, khususnya aspek budaya. Meluasnya
masyarakat majemuk yang sangat heterogen, baik dari segi suku, agama, adat
istiadat, kebiasaan dan perilakunya. Walaupun ada segi positifnya, namun tidak
sedikit akibat negatif yang ditimbulkan. Kecenderungan pelanggaran hak asasi
manusia, sulitnya orang mencari keadilan, kriminalitas yang berkadar tinggi,
serta kebringasan sosial yang seringkali sulit dikendalikan semua itu
menunjukkan bahwa kita belum mampu mengendalikan perobahan tersebut. Perobahan
sosial berikutnya bahwa pluralitas tidak terfocus hanya pada aspek SARA, tetapi
dimasa yang akan datang kemajemukan itu ditandai dengan adanya sinergi dari peran,
fungsi dan profesionalisme individu atau kelompok. Sehingga kontribusi profesi
individu/kelompok itulah yang akan mendapat tempat dimanapun mereka
berprestasi.
Pembangunan
pendidikan di semua strata/level belum menghasilkan lulusan yang optimal baik
dari segi penguasaan ilmu dan keterampilan maupun budi pekerti mereka. Polemik
yang berkembang sekarang adalah soal anggaran pembangunan pendidikan yang
terlalu kecil. Minimnya sarana, prasarana dan degradasi kualitas tenaga
pengajar. Belum lagi perobahan kurikulum dan tentang kesejahteraan guru atau
dosen.
Di
bidang keamanan, masih sangat memprihatinkan. Sebagai “limbah” dari berbagai
permasalahan hidup, maka derajat kriminalitas sekarang ini sangat “menakutkan”,
mengganggu ketentraman dan kenyamanan hidup bermasyarakat. Kasus-kasus kriminal
yang berkembang saat ini justru sudah tidak lagi memperhatikan hak asasi
manusia dan naluri kemanusiaan. Kejahatan yang dilakukan oleh manusia sudah
tidak seuai dengan harkat kemanusiaan itu sendiri.
3.
Esensi Nasionalisme Indonesia yang harus Dipertahankan.
Sesungguhnya
nilai-nilai nasionalisme (faham tentang kebangsaan) itu bersumber dari
sosio-kultural bangsa dan bumi Indonesia. Sekalipun akan mengalami interaksi
dengan dunia luar dalam era globalisasi, tetapi hakekatnya tidak boleh berubah.
Seperti halnya nilai-nilai Pancasila sebagai esensi pertama, secara intrinsik
tidak akan berubah, apalagi hal itu memiliki nilai-nilai mendasar dan sebagai
“way of life” bangsa Indonesia, serta sebagai dasar Negara Republik Indonesia
akan tetap dapat dipertahankan. Sekalipun saat ini mengalami pasang surut dan
mungkin sedikit “memudar” sifatnya tentu sementara.
Esensi kedua adalah UUD’ 45 sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, akan tetap menjadi kaidah utama. Kita sadari dan di implementasi-kan bahwa untuk menata negara dan masyarakat diperlukan berbagai undang-undang dan peraturan yang tentunya harus bersumber pada Undang-Undang Dasar ini. Faham kebangsaan kita menyadari dengan sepenuhnya, bahwa semua tata kehidupan bangsa, harus telah tertuang dan teratur didalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar tersebut. Hal ini sekaligus merupakan komitmen kita bersama dalam mendirikan Negara Republik Indonesia.
Esensi kedua adalah UUD’ 45 sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, akan tetap menjadi kaidah utama. Kita sadari dan di implementasi-kan bahwa untuk menata negara dan masyarakat diperlukan berbagai undang-undang dan peraturan yang tentunya harus bersumber pada Undang-Undang Dasar ini. Faham kebangsaan kita menyadari dengan sepenuhnya, bahwa semua tata kehidupan bangsa, harus telah tertuang dan teratur didalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar tersebut. Hal ini sekaligus merupakan komitmen kita bersama dalam mendirikan Negara Republik Indonesia.
Esensi
ketiga adalah Rasa cinta tanah air dan rela berkorban. Sebagai bangsa yang
merdeka karena perjuangan melawan penjajah dan telah mengorbankan jiwa raga
beribu-ribu pahlawan bangsa, maka rasa kebangsaan kita harus dilandasi oleh
tekad dan semangat terus berupaya mencintai tanah air Indonesia dengan segala
isi yang terkandung didalamnya sepanjang masa. Karena hanya dengan rasa cinta
tanah air, bangsa ini akan tetap utuh dan akan rela berkorban pula bagi
kejayaan bangsa dan Negaranya. Sekalipun “hujan emas” di negeri orang tentu
tidak seindah hidup di negeri sendiri, walaupun serba menghadapi kesulitan dan
kemiskinan.
Esensi
keempat adalah rasa persatuan dan kesatuan bangsa didalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hal ini yang sekarang terkoyak-koyak dan nyaris menghadapi
disintegrasi. Pengaruh globalisasi sangat besar, eforia-reformasi, telah
membuat bangsa Indonesia hampir-hampir kehilangan arah dan tujuan. Ide
sparatisme dan upaya-upaya memisahkan diri dari NKRI oleh beberapa daerah,
adalah contoh nyata yang perlu kita cegah. Kalau ide tersebut dibiarkan
berkembang maka Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami ancaman yang
serius. Sudah tentu hal tersebut mengingkari akar nilai-nilai persatuan dan
kesatuan, yang telah dirintis oleh para pendahulu Republik ini.
Esensi
kelima tentang wawasan kebangsaan yang bersumber dari wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional hendaknya terus dapat melekat pada hati dan dihayati
sepenuhnya oleh warga Negara Indonesia, sehingga tertanam pola pikir, pola
sikap dan pola tindak yang sarwa Nusantara, merangkul semua kepentingan dan mengarahkan
pada cita-cita dan tujuan pembangunan Nasional.
Yang terakhir adalah disiplin nasional. Bangsa yang ingin maju dan mandiri harus memiliki disiplin nasional yang tinggi. Nasionalisme berakar pula pada budaya disiplin bangsa tersebut. Justru antara disiplin nasional dan nasionalisme, merupakan dua sisi mata uang yang saling berpengaruh. Makna dan esensi disiplin nasional akan terlihat pada disiplin para penyelenggara Negara, tertib dan lancarnya pelayanan masyarakat, serta dalam berbagai kehidupan sehari-hari.
Yang terakhir adalah disiplin nasional. Bangsa yang ingin maju dan mandiri harus memiliki disiplin nasional yang tinggi. Nasionalisme berakar pula pada budaya disiplin bangsa tersebut. Justru antara disiplin nasional dan nasionalisme, merupakan dua sisi mata uang yang saling berpengaruh. Makna dan esensi disiplin nasional akan terlihat pada disiplin para penyelenggara Negara, tertib dan lancarnya pelayanan masyarakat, serta dalam berbagai kehidupan sehari-hari.
4.
Bagaimana Memupuk Nasionalisme di tengah-tengah Gelombang Pengaruh Globalisasi
?
Upaya memupuk nasionalisme agar tidak rentan, mudah pudar dan bahkan terkikis habis dari “dada bangsa Indonesia” tentu perlu keseriusan dan optimisme. Ada sasanti di beberapa lembaga pendidikan yang mungkin pernah kita dengar atau dilihat, bahwa dalam rangka kaderisasi calon-calon pemimpin bangsa, hendaknya terus dimantapkan “dwi warnapurwa – cendekia wusana”. Secara sepintas inti maksudnya adalah untuk menciptakan kader-kader pemimpin bangsa ini, agar memiliki rasa dan jiwa nasionalisme yang tinggi dan serta berpikir cerdas dan patriotik. Merah putih lebih dulu, baru kecakapan intelektualitas dan kecendikiawanan yang tinggi untuk melengkapinya. Tidak kita inginkan dimasa datang banyak pemimpin kita cakap dan cerdas tetapi tidak memiliki jiwa kejuangan atau mentalnya lemah. Walaupun pengaruh globalisasi “mendera” dan “melarutkan” apa saja yang ada dimuka bumi ini, tentu tidak boleh larut dan tersapu semua nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme tersebut. Oleh sebab itu yang perlu dipupuk pada dasarnya adalah jati diri Bangsa Indonesia. Beberapa esensi jatidiri antara lain :
Upaya memupuk nasionalisme agar tidak rentan, mudah pudar dan bahkan terkikis habis dari “dada bangsa Indonesia” tentu perlu keseriusan dan optimisme. Ada sasanti di beberapa lembaga pendidikan yang mungkin pernah kita dengar atau dilihat, bahwa dalam rangka kaderisasi calon-calon pemimpin bangsa, hendaknya terus dimantapkan “dwi warnapurwa – cendekia wusana”. Secara sepintas inti maksudnya adalah untuk menciptakan kader-kader pemimpin bangsa ini, agar memiliki rasa dan jiwa nasionalisme yang tinggi dan serta berpikir cerdas dan patriotik. Merah putih lebih dulu, baru kecakapan intelektualitas dan kecendikiawanan yang tinggi untuk melengkapinya. Tidak kita inginkan dimasa datang banyak pemimpin kita cakap dan cerdas tetapi tidak memiliki jiwa kejuangan atau mentalnya lemah. Walaupun pengaruh globalisasi “mendera” dan “melarutkan” apa saja yang ada dimuka bumi ini, tentu tidak boleh larut dan tersapu semua nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme tersebut. Oleh sebab itu yang perlu dipupuk pada dasarnya adalah jati diri Bangsa Indonesia. Beberapa esensi jatidiri antara lain :
a.
Bangsa Indonesia Sebagai Bangsa Pejuang dan Anti Penjajah.
Sebagaimana
tercatat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, telah menjadi pelajaran dan
melegitimasi citra Bangsa Indonesia, dimata dunia, bahwa Bangsa Indonesia akan
tetap dikenal sebagai bangsa yang anti penjajah dan rela berkorban bagi
kejayaan bangsanya. Semangat ini dipupuk terus dengan penerusan implementasi
nilai-nilai, melalui wahana pendidikan di berbagai strata bagi generasi penerus
bangsa.
Tidak boleh bosan-bosan menanamkan sikap anti penjajah ini bagi generasi muda, karena di pundak merekalah masa depan bangsa ini akan kita wariskan.
Tidak boleh bosan-bosan menanamkan sikap anti penjajah ini bagi generasi muda, karena di pundak merekalah masa depan bangsa ini akan kita wariskan.
b.
Bangsa Indonesia Cinta damai dan Lebih Cinta Kemerdekaan.
Dengan
politik luar negeri yang bebas dan aktif, senantiasa terus menggalang persatuan
dunia menuju pada tata kehidupan dunia yang lebih damai dan sejahtera. Itulah
jati diri Bangsa Indonesia sebagai lambang Nasionalisme dan sekaligus
Internasionalisme sebagai bangsa yang aktif dan turut serta untuk menciptakan
perdamaian dunia yang abadi.
Di dalam situasi seperti sekarang ini dimana dunia sedang “terancam perang” di berbagai belahan benua, maka di pandang perlu Indonesia tampil dan memelopori usaha-usaha perdamaian melalui berbagai forum Internasional bersama-sama bangsa lain yang sejalan.
Di dalam situasi seperti sekarang ini dimana dunia sedang “terancam perang” di berbagai belahan benua, maka di pandang perlu Indonesia tampil dan memelopori usaha-usaha perdamaian melalui berbagai forum Internasional bersama-sama bangsa lain yang sejalan.
c.
Sebagai Bangsa Indonesia yang Berbudaya Luhur ramah dan bersahabat.
Keluhuran
budaya Indonesia terletak pada karakter dan citra bangsa yang ramah dan
bersahabat. Karena kita anti penjajah dan cinta perdamaian, maka memupuk
pesahabatan antar bangsa menjadi motivasi dan langkah-langkah kongkrit untuk
merealisasikan cita-cita perdamaian. Budaya demikian itu terus di pupuk, di
kembangkan dan dipromosikan ke semua bangsa di dunia ini, agar keberadaan
Indonesia dan perannya dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa Indonesia.
Budaya Nasional yang merupakan akumulasi dari puncak-puncak budaya daerah, hendaknya terus dapat dipelihara dan dijaga kelestariannya. Hanya bangsa yang bisa mempertahankan jati diri dan budaya Nasionalnya yang akan bisa menjadi bangsa yang besar.
Budaya Nasional yang merupakan akumulasi dari puncak-puncak budaya daerah, hendaknya terus dapat dipelihara dan dijaga kelestariannya. Hanya bangsa yang bisa mempertahankan jati diri dan budaya Nasionalnya yang akan bisa menjadi bangsa yang besar.
d.
Kesetaraan dan Kemandirian Perlu Dipupuk Terus Untuk Mengejar Ketinggalan.
Martabat
Bangsa Indonesia adalah ingin setara/sejajar dengan bangsa-bangsa lain, oleh
karena itu upaya untuk mengejar kemajuan dan kemandirian adalah suatu tekad dan
semangat yang tidak boleh terputus sekalipun menghadapi berbagai kendala.
Persaingan antar bangsa akan semakin terlihat pada persaingan kualitas sumber
daya manusianya dan bukan saja pada sumber daya alamnya.
Selain
hal-hal normatif dan mendasar yang masih menuntut aktualisasi dan representasi
tersebut, terdapat juga komitmen dan tekad baru yang kini tampak sebagai
“trend” dan fenomena cemerlang untuk memelihara nasionalisme.
Pertama,
keunggulan kompetitif sumber daya manusia (SDM). Sebenarnya tidak kurang bibit
unggul dan kader potensial dari putra-putri Indonesia yang kelak diharapkan
dapat menjadi patriot-patriot pembangunan dan mampu membawa Indonesia ke pintu
gerbang kegemilangan dan kejayaan. Berbagai sekolah unggulan dan lulusan
pendidikan di dalam maupun di luar negeri terbukti cukup apresiatif dan bahkan
telah mampu menjuarai berbagai olympiade sains dan teknologi. Putra-putri
seperti inilah yang bisa membagi kebanggaan. Tidak sedikit manager muda
berbakat pada lembaga pemerintah ataupun swasta dengan menampilkan kepiawaian
manajemen. Hal ini tentu dapat memberikan semangat kepada generasi baru yang akan
datang lebih dapat memacu diri untuk berprestasi dan bangga akan teman-teman
sebangsanya.
Kedua,
Pluralitas yang menghasilkan sinergisme. Kemajemukan bangsa Indonesia yang kian
hari kian terbentuk secara alami dan menuju pada sikap inklusif dari berbagai
suku agama, ras dan golongan, akan terus berkembang pesat dan bahkan tak
mungkin dihambat. Kecenderungan masa kini dan dimasa yang akan datang integrasi
bangsa Indonesia tidak lagi terfocus pada faktor suku, agama, ras dan golongan
tersebut, tetapi lebih mengarah pada integrasi dan sinergi yang lebih maju,
yakni berkaitan dengan peran, fungsi dan profesi orang per orang maupun dalam
hubungan kelompok. Dimasa yang akan datang orang tidak lagi bertanya “kamu dari
mana, suku apa, dan agamanya apa ?” tetapi lebih banyak pada pertanyaan “kamu
memiliki kemampuan dan skill” apa atau keahlian dan profesi apa, yang bisa di
ajak bekerja sama untuk menghasilkan suatu karya. Disini akan tersirat sikap
dan sifat-sifat saling memberi dan saling menerima segala macam perbedaan yang
pada muaranya akan dapat melahirkan rasa bangga dan nasionalisme yang luas.
Ketiga,
semangat tidak kenal menyerah dan tahan uji. Ada berbagai ungkapan dan perasaan
sebagian besar bangsa Indonesia yang tetap tahan uji dan cukup membanggakan. Berbagai
musibah bencana dan malapetaka terus datang silih berganti, seperti yang kita
rasakan datangnya “tsunami”, tanah longsor, bencana banjir, flu burung, demam
berdarah, busung lapar dan lain sebagainya namun tetap membuat kita tawakal dan
berusaha untuk mengatasi secara bergotong royong baik antara Pemerintah dan
lembaga resmi/tidak resmi maupun solidaritas antar masyarakat sendiri.
Begitu
pula tatkala menghadapi “ancaman” negara lain dalam bentuk pelanggaran
perbatasan, penyerobotan pulau, bahkan penghinaan oleh kelompok bangsa
tertentu, ternyata kita tahan uji dan bahkan mampu membangkitkan semangat
Nasionalisme yang tinggi untuk menghadapi semuanya.
Keempat,
semangat demokrasi menjadi pilihan bersama. Era demokratisasi, sudah
membangkitkan tekad dan semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk menata
kembali kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih bermartabat. Negara
demokrasi sebagai pilihan tepat karena dari sinilah akan lahir bingkai-bingkai
sehat, dimana orang-orang bersepakat dan bersama-sama dalam menentukan pilihan
bersama. Dengan demikian tata kehidupan berdemokrasi inilah yang akan menjadi
semangat baru dan semangat bersama generasi penerus bangsa Indonesia yang
sekaligus akan menjadi semangat nasionalisme yang kental dalam era yang baru.
Kelima,
semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Kebijakan Pemerintah dalam upaya
desentralisasi kekuasaan kepada daerah-daerah dan memberikan otonomi yang luas
kepada tiap-tiap daerah, akan melahirkan semangat kebebasan dan semangat
kemandirian untuk membangun daerahnya masing-masing. Ada kompetisi didalamnya,
tetapi juga tuntutan kreativitas di masing-masing daerah untuk lebih maju dan
semakin dapat mensejahterakan masyarakatnya.
Disentralisasi tidak boleh mengarah pada federalisme apalagi memecah belah integrasi Nasional. Otonomi daerah juga tidak boleh mengarah kepada disintegrasi bangsa. Oleh karena itu rambu-rambu untuk tetap dapat menjaga utuhnya NKRI harus difahami bersama dan didasari oleh semangat demokrasi, integralistik dan wawasan kebangsaan Indonesia yang lebih mendalam.
5. Penutup.
Sebagai kesimpulan secara umum bahwa Nasionalisme bangsa Indonesia belum memudar, sekalipun saat ini didera oleh pengaruh globalisasi dan liberalisasi serta proses demokratisasi. Tantangan baru ini harus dihadapi dengan serius dan optimisme, bilamana tidak di pupuk kembali dan tidak mendapat dorongan semangat baru oleh para pemimpin bangsa ini, maka tidak mustahil faham tentang kebangsaan ini akan tersapu oleh peradaban baru yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur sosio-kultural bangsa kita.
Hanya tekad dan semangat yang disertai usaha yang serius melalui wahana pendidikan akan dapat diharapkan mampu melestarikan semangat nasionalisme. Tidak salah kiranya bahwa perhatian para pemimpin, tokoh masyarakat, serta seluruh komponen kekuatan bangsa untuk bersama-sama membenahi sistem pendidikan nasional, agar mampu menghasilkan lulusan/hasil didik sebagai generasi penerus bangsa yang dapat membawa kemajuan dan kejayaan di era Indonesia baru.
Pada sisi lain sosialisasi nilai-nilai Intrinsik nasionalisme melalui berbagai lembaga dan masyarakat harus terus diupayakan. Karena generasi bangsa ini terus diperbarui oleh generasi baru yang menuntut pemahaman yang hakiki.
Disentralisasi tidak boleh mengarah pada federalisme apalagi memecah belah integrasi Nasional. Otonomi daerah juga tidak boleh mengarah kepada disintegrasi bangsa. Oleh karena itu rambu-rambu untuk tetap dapat menjaga utuhnya NKRI harus difahami bersama dan didasari oleh semangat demokrasi, integralistik dan wawasan kebangsaan Indonesia yang lebih mendalam.
5. Penutup.
Sebagai kesimpulan secara umum bahwa Nasionalisme bangsa Indonesia belum memudar, sekalipun saat ini didera oleh pengaruh globalisasi dan liberalisasi serta proses demokratisasi. Tantangan baru ini harus dihadapi dengan serius dan optimisme, bilamana tidak di pupuk kembali dan tidak mendapat dorongan semangat baru oleh para pemimpin bangsa ini, maka tidak mustahil faham tentang kebangsaan ini akan tersapu oleh peradaban baru yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur sosio-kultural bangsa kita.
Hanya tekad dan semangat yang disertai usaha yang serius melalui wahana pendidikan akan dapat diharapkan mampu melestarikan semangat nasionalisme. Tidak salah kiranya bahwa perhatian para pemimpin, tokoh masyarakat, serta seluruh komponen kekuatan bangsa untuk bersama-sama membenahi sistem pendidikan nasional, agar mampu menghasilkan lulusan/hasil didik sebagai generasi penerus bangsa yang dapat membawa kemajuan dan kejayaan di era Indonesia baru.
Pada sisi lain sosialisasi nilai-nilai Intrinsik nasionalisme melalui berbagai lembaga dan masyarakat harus terus diupayakan. Karena generasi bangsa ini terus diperbarui oleh generasi baru yang menuntut pemahaman yang hakiki.
SUMBER:
https://waspadaindonesia.wordpress.com/2008/01/21/mempertahankan-nasionalisme-dalam-era-globalisasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar